Pada masa sahabat, hukum Islam mengalami perkembangan sejalan dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan umat Islam dan seiring dengan perubahan kondisi sosial pada masa itu. Banyak sekali persoalan-persoalan baru yang muncul di kalangan umat Islam pada masa itu yang memerlukan penentuan hukum. Oleh karena itu,dalam memutuskan setiap perkara, para sahabat selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits sebagai sumber hukum Islam pertama. Namun bila tidak dijumpai dalam al-Quran dan hadits, para sahabat menggunakan ijtihad sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah.
Dalam Al Quran Surat An Nisa : 59
QS An Nisaa': 59 »
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
"Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya"
disebutkan bahwa setiap muslim wajib mengikuti kehendak Allah, kehendak Rosul dan kehendak ulil ‘amri yakni orang yg mempunyai “kekuasaan” berupa ilmu pengetahuan utk mengalirkan ajaran hak Islam dari dua sumber utamanya yakni Al Quran dan Sunnah Nabi Muhammad.
Ketika Rosulullah mengutus Mu’adz bin Jabal menjadi gubernur di Yaman, beliau bertanya kepadanya:
Tanya Rosul : “Dengan pedoman apa engkau akan memutus sesuatu urusan ?”
Jawab Muadz : dengan kitabullah
Tanya Rosul : kalau tidak ada dalam Al Quran?
Jawab Muadz : dengan sunnah Rosulullah
Tanya Rosul : kalau dalam sunnah juga tidak ada?
Jawab Muadz : saya berijtihad dengan pikiran saya
Rosulullah SAW bersabda : “Maha suci Allah yg telah memberikan bimbingan kpd utusan Rosul-Nya, dengan satu sikap yg disetujui Rosul-Nya. ( HR Abu Dawud dan Turmudzi)
Pada masa itu para Sahabat sangat berhati-hati dalam menggunakan ra’yu. Kebanyakan mereka mencela ra’yu. Yang mereka cela bukanlah apa yang mereka lakukan, tetapi mereka mencela apabila mengikuti hawa nafsu dalam berfatwa tanpa bersandar pada pokok agama. Dengan demikian, pada masa sahabat ada empat sumber hukum, yaitu:
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
1. Al-Quran sebagai pegangan (landasan)
2. As-Sunah
3. Qiyas dan ra’yu (pendapat) sebagai cabang al-Quran dan Sunnah
4. Ijma’ yang bersandar pada al-Quran, Sunah dan qiyas.
Dalam berijtihad para sahabat tidak jarang berbeda antara satu dengan yang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya:
1. Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran.
1. Perbedaan dalam menafsirkan ayat al-Quran.
2 . Perbedaan dalam memperoleh hadits karena setiap sahabat memeroleh jumlah hadits yang tidak sama dan pada masa itu hadits belum dibukukan.
3. Perbedaan dalam menggunakan metode pengambilan hukum karena pengaruh lingkungan yang berbeda.
Namun demikian perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kalangan para sahabat. Perbedaan itu ditanggapi dengan bijaksana. Perbedaan dianggap sebagai sesuatu yang sudah biasa (fitrah) dan rahmat bagi manusia. Hal inilah yang patut kita teladani dalam menyikapi segala perbedaan.3. Perbedaan dalam menggunakan metode pengambilan hukum karena pengaruh lingkungan yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar